oleh : M. Haiqal Arifianto
Masyarakat
indonesia yang berkarakter majemuk ini menjadi menarik ketika islam yang ada
pun juga beragam. Pada proses penyebarannya pun juga terjadi dualisme ajaran,
yaitu : falsafi dan suni. Sejarah islam indonesia memiliki keunikan tersendiri
karena di samping menjadi faktor pemersatu bangsa juga memberikan nuansa baru
dalam keberislaman, yang berbeda dengan karakter dan sifat keberislaman di
negara islam lain, terutama di timur tengah. Islam di indonesia ternyata mampu
berinteraksi dengan budaya local,seperti bentuk masjid dan tata cara yang
mengiringi ritual keagamaan. Maulid adalah
bagian yang tidak terpisahkan dari
budaya local yang berpadu dengan peringatan kelahiran Nabi Muhammad SAW. Kalau
di teliti lebih jauh, banyak sekali keunikan dalam keberislaman di indonesia.
Azyumardi
Azra mengatakan bahwa fenomena tersebut
sebagai bentuk akomodasi islam di indonesia. Dia membagi islam dalam konteks
tradisi besar dan kecil. Tradisi besar adalah yang mengandung ajaran-ajaran
pokok islam, seperti, syahadat, shalat, dan puasa. Di samping tradisi besar
itu, terdapat tradisi kecil yang mengiringinya, seperti tradisi seperti membawa
obor ketika malam-malam ganjil setelah tanggal 20 Ramadhan untuk mencari
lailautul qadr. Dinamika inilah yang terjadi di indonesia, sehingga warna
keislaman lebih bervariasi di bandingkan dengan di tempat asalnya.[1]
Kondisi
ini memang menarik para peneliti asing yang ingin mengetahui lebih banyak hal
tentang islam di indonesia. Para peneliti ini kemudian tidak hanya sekedar
meneliti, tetapi menghasilkan karya yang monumental, sehingga menjadi terkenal
karena meneliti islam indonesia. Seperti Clifford Geertz dan William Liddle, mereka
adalah ilmuan barat yang terkenal karena meneliti islam di indonesia. Bahkan
perkataan yang beredar, bahwa islam Indonesia merupakan surga bagi para
peneliti asing. Mereka amat menikmati keragaman dan variasi umat islam
indonesia dan keragaman itu pulalah mereka terdorong untuk menemukan teori
teori baru, terutama dalam bidang ilmu sosial.[2]
Islam
telah memberi kontribusi yang amat signifikan bagi keindonesiaan dan peradaban,
baik dalam bentuk nilai-nilai maupun bangunan fisik. Islam indonesia ternyata
tidak kalah penting di bandingkan dengan islam di negara negara timur tengah.
Bahkan Falzurrahman mengatakan bahwa islam indonesia merupakan corak islam masa
depan yang cukup menjanjikan di era globalisasi.
Adanya kemungkinan akulturasi timbal-balik antara Islam
dengan budaya lokal (local genius) dalam hukum Islam secara metodologis
sebagai sesuatu yang memungkinkan diakomodir eksistensinya. Hal ini dapat kita
lihat dalama kaidah fiqh yang menyatakan “al-‘a>dah muhakkamah” (adat
itu bisa dijadikan hukum), atau kaidah “al-‘a>dah shariatun muhkamah”
(adat adalah syariat yang dapat dijadikan hukum. Kaidah ini memberikan
justifikasi yuridis bahwa kebiasaan suatu masyarakat bisa dimungkinkan untuk
dijadikan dasar penetapan hukum ataupun sumber acuan untuk bersikap.Hanya saja
tidak semua adat/ tradisi bisa dijadikan pedoman hukum karena tidak semua unsur
budaya pasti sesuai dengan ajaran Islam. Unsur budaya lokal yang tidak sesuai
diganti atau disesuaikan sebagaimana misi Islam sebagai pembebas manusia dengan
semangat tawhi>d. Dengan semangat tawhi>d ini manusia dapat
melepaskan diri dari belenggu tahayul, mitologi dan feodalisme, menuju pada
peng-esa-an Allah sebagai sang Pencipta. Pesan moral yang terkandung dalam
kadiah fiqh di atas adalah perlunya bersikap kritis terhadap sebuath tradisi,
dan tidak asal mengadopsi. Sikap kritis inilah yang justru menjadi pemicu
terjadinya transformasi sosial masyarakat yang mengalami persinggungan dengan
Islam. Dengan demikian kedatangan Islam selalu mendatangkan perubahan masyarakat
atau pengalihan bentuk (transformasi) sosial menuju ke arah yang lebih baik.[3]
De Graaf berpendapat bahwa historiografi Indonesia dan
Malaya tentang sejarah awal islam di kawasan ini tidak dapat di abaikan sama
sekali. Mayoritas historiografi nusantara itu lebih banyak berisi mitos
daripada sejarah dalam pengertian barat. Karena itu, nilainya lebih terletak
pada kenyataan bahwa historiografi tersebut adalah hasil pribumi dan merupakan
produk tradisi kebudayaan yang sama, bukan pada historisitasnya.[4]
Dari yang di katakan para tokoh islam dan ahli tersebut,
islam di Indonesia memang menarik bagi yang ingin menelitinya, dan menarik
dengan keberagamannya. Karakteristik Islam di Indonesia majemuk, namun menurut
saya ini paling Nampak di temukan di daerah jawa, di sana masih menyangkutkan
dengan mitos-mitos dari nenek moyang dan berbagai ritual yang bersifat
teologis. Dapat dikatakan bahwa islam disana di kaitkan dengan hah-hal
tradisionil.
Namun di bagian Indonesia lain pemikiran-pemikiran islam dengan
gagasan rasionalitas ataupun sekulerisasi. Gagasan rasionalitas islam biasanya
hokum-hukum islam di sesuaikan dengan perkembangan zaman. Biasanya tokoh-tokoh
medernisasi islam yang mempeloporinya, karena seiring perkembangan zaman pula
maka hukumnya pun di sesuaikan dengan zamannya. Lalu ada juga karakteristik
islam dengan gagasan sekularisasi, yaitu memisahkan antara urusan agama dengan
urusan dunia.
Islam di Indonesia juga terdapat berbagai kelompok
aliran-aliran islam. Bahkan akhir-akhir ini terdapat kelompok aliran islam Indonesia
yang menginginkan system pemerintahan khalifah di jadikan sebagai system
Negara. Yang memang cita-cita ini bias di bilang ekstrem untuk di jadikan
system dengan perkembangan zaman yang terjadi, karena sudah berbeda zamannya.
Di daerah Indonesia lain, seperti di aceh system yang di
berlakukan disana memakai system syariah islam. Berlakunya hukum islam disana
tidak hanya sebagai bentuk hokum yang serta merta di acuhkan tetapi juga
menjadikannya di terapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Keislaman Indonesia memiliki banyak wajah. Ada berwajah
santri, abangan, dan priyayi. Nuansa sinkretis sangat kental dalam kehidupan
masyarakat. Di Indonesia, keberagamaan bisa berdamai dengan kearifan lokal
setiap daerah. Wajah keislaman banyak menampilkan karakter dan sikap yang
berbeda-beda. Hal ini dipengaruhi kuat oleh persoalan negara yang sangat
kompleks. Selain faktor birokrasi, faktor historis sangat kuat memengaruhi.
Pertemuan Islam, budaya lokal, dan kolonialisme melahirkan sikap keislaman yang
beragam seperti itu.[5]
Islamisasi di nusantara merupakan suatu prosesyang bersifat
evolusioner. Manakala islam segara memperoleh konversi banyak penguasa pribumi,
islam kemuduian berkembang di tingkat rakyat bawah. Islamisasi berbagai
kelompok etnis yang hidup di berbagai wilayah yang berbeda benar-benar bukan
merupakan bentuk konversi tunggal seragam, melainkan proses panjang menuju
kompromi yang lebih besarterhadap eksklusivitas islam. Proses ini yang dapat di
amati secara jelas masih terus berlanjut sampai saat ini. Berbagai factor memberikan
sumbangan terhadap proses menuju kompromi ini. Berbagai keilmuan dan
pembelajaran islam secara local, kontak keagamaan dan intelektual dengan
pusat-pusat islam di timur tengah, dan perubahan social ekonomi, dan politik,
memberikan kontribusi penting dalam pencapaian kompromi lebih besar dengan
islam.[6]
Dalam berbagai hal, pencarian terhadap bentuk kompromi ini
melibatkan proses panjang yang kadang-kadang menyakitkan. Selalu ada unsure
tertentu di dalam masyarakat muslim, terutama di kalangan kaum ulama, yang
berkeinginan mempercepat proses itu dengan mendorong dan bahkan memaksa
penduduk sekuat tenaga untuk menanggalkan semua kepercayaan dan praktik yang
mereka anggap tidak lazim atau tidak islami. Berlanjutnya ketidaksesuaian
terhadap nilai dan ajaran islam yang di pandang sebagai islam genuine dan
autentik, sebagaimana yang bias di duga, memberikan alas an pokokn bagi
beberapa kaum ulama untuk melakukan pembaruan keagamaan, bahkan dengan
cara-cara keras, radikal dan revolusioner.[7]
Dalam hal kategori konversi dan adhesi. Nock tidak dapat menjelaskan
secara memuaskan proses konversipenduduk kepuulauan melayu-indonesia ke dalam
islam. Sesuai definisi Nock islam merupakan agama profetik yang menuntut
komitmen penuh dan tidak memberikan kompromi bagi adanya jalan keselamatan yang
lain. Sebagaimana yang bias di amat, konversi penduduk nusantara ke dalam islam
tidak bersifat eksklusif, dan sebagian beasr muslim melayu-indonesia yang baru
memeluk islam masih mempertahankan berbagai komitmen mereka terhadap
kepercayaan dan praktik lama mereka yang tidak bersifat profetik.
Oleh karena itu, jika kita percaya dengan kerangka nock
penerimaan mereka terhadap islam lebih tepat di ssebut adhesi. Sebagaimana yang
di ungkapkan dalam sebagian besar historiografi awal islam melayu-indonesia,
pada umumnya orang-orang setempat menerima islam hanya memberikan satu bentuk
tambahan kepercayaan dan praktik yang dapat berubah sesuai dengan tujuan-tujuan
tertentu.[8]
Setelah banyak di singgung diantara para tokoh tentang
kemajemukan masyarakat dan karakterisik islam Indonesia. Dan menurut saya dari
keberagaman masyarakat Indonesia bahwa islam yang cocok untuk masyarakat
Indonesia yaitu dalam bentuk adhesi. Karena masyarakat Indonesia menerima islam
itu tidak pula meninggalkan kepercayaan dan praktik keagamaan yang lama. Tidak
serta merta dengan konversi, yaitu merubah kepercayaan lama dengan islam.
Dan menurut saya ketika ada kelompok yang ingin merubah
menjadi system islam sepenuhnya ( system khalifah ) itupun tidak sesuai dengan
seluruh karakter masyarakat indonesia yang
beragam. Lalu ketika di kaitkan dengan islam yang radikal ini pun tidak pula
cocok dengan karakteristik masyarakat Indonesia yang ramah dan rendah hati.
Pada hakikatnya islam yang seperti ini sulit dilakukan ketika islam radikal ini
dengan keras melaksanakan system islam.
Islam liberal yang merupakan kebebasan untuk melaksanakan
syariat islam ini pun rasanya tidak cocok untuk karakteristik masyarakat islam
indonesia. Karena hakikatnya masyarakat islam Indonesia termasuk patuh dengan
norma-norma yang ada dan senantiasa untuk menjalankannya. Dapat di lihat masih
banyak masyarakat Indonesia yang senantiasa melakukan ritual-ritual keagamaan
yang berbau mistik, yang pada dasarnya hal ini tidak rasional untuk dilakukan.
Lalu islam yang cocok untuk masyarakat Indonesia yang
majemuk ini, adalah islam yang moderat. Seperti halnya islam yang di ajarkan
oleh para sufi mewujudakn islam berwatak moderat, senantiasa berjalan lurus
dengan yang pernah di ajarkan. Islam yang seperti ini di nilai cocok karena
senantiasa patuh dengan ajaran islam yang benar dan di sesuaikan dengan
perkembangan zaman, tanpa terpengaruh dengan islam yang senantiasa menawarkan
sesuatu dengan kemudahan dan tidak sesuai dengan ajaran islam yang sebenarnya.
Referensi
Azyumardi Azra, jaringan global dan lokal islam nusantara, (mizan)
Musyarifah sunanto, sejarah peradaban islam di
indonesia, (Jakarta : Rajawali pres, 2010)
Azyumardi Azra, renaisans islam asia tenggara, ( sejarah wacana dan kekuasaan ),
Jakarta, Rosda, 1999
[1]
Kutipan Azurmardi Azra dalam buku. Musyarifah sunanto, sejarah peradaban islam
di indonesia, (Jakarta : Rajawali pres, 2010)
[2]
Musyarifah sunanto, sejarah peradaban islam di indonesia.
[3]
Di ambil dari artikel yang di tulis Muhammad
Afdillah, S.Th.I, M.Si dalam situs http://blog.sunan-ampel.ac.id/muhammadafdillah/2010/10/06/akulturasi-agama-dan-dialektika-budaya-pengalaman-islam-indonesia/
[4]
Azyumardi Azra, renaisans islam asia
tenggara, ( sejarah wacana dan kekuasaan ), Jakarta, Rosda, 1999, h. 27
[5]
Di ambil dari situs http://www.lampungpost.com/opini/15031-membangun-karakter-keislaman-.html
[6]
Azyumardi Azra, jaringan global dan lokal
islam nusantara, (mizan), h. 21
[7]
Azyumardi Azra, jaringan global dan lokal
islam nusantara, h.21
[8]
Azyumardi Azra, jaringan global dan lokal
islam nusantara, h.20
terimakasih artikelnya sangat membantu pembuatan tugas agama saya :)
BalasHapusWinstar Casino and Resort - Jackson County
BalasHapusWINSTAR CASINO 전라남도 출장마사지 and 울산광역 출장마사지 RESORT in Jackson County, IN at 1535 아산 출장마사지 Seminole Way This casino offers 이천 출장마사지 everything you need for the ultimate 안양 출장마사지 entertainment vacation.