oleh : M. Haiqal Arifianto
Di
Negara Indonesia keragaman umat beragama menjadi hal yang sudah biasa dengan
menganut pada asas demokrasi tentang kebebasan beragama. Bahkan pada masa
kepemerintahan yang dipimpin oleh presiden Abdurrahman Wahid atau yang sering
akrab disapa Gusdur, agama di Indonesia menjadi sangat plural dengan menambah
agama Kong Hu Cu
sebagai yang di akui oleh Indonesia. Walaupun begitu masyarakat
Indonesia belum dewasa dalam menanggapi perbedaan agama. Masih saja banyak
terjadi konflik-konflik terkait masalah agama dari antar agama sampai pada
kesamaan agama dengan pemahaman yang berbeda.
Fenomenanya
kini yang sering di angkat media adalah persoalan konflik agama yang lebih
sering di lakukan oleh masyarakat muslim, miris memang melihatnya. Padahal
ketika kita mengacu pada sejarah islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad
dikenalkan dengan cara yang halus, dan masuk ke Indonesia pun dengan cara serupa.
Berbanding terbalik islam pada zaman dahulu hingga zaman sekarang. Kembali pada
persoalan konflik agama di Indonesia, baru-baru ini perayaan idul adha
tercoreng dengan terjadinya penyerangan Masjid Ahmadiyah An-Nashir oleh sekelompok masa di Bandung.
Penyerangan yang dilakukan oleh
sekitar 30 orang di Masjid Ahmadiyah An-Nashir di Jalan Sapari, Kecamatan
Astanaanyar, Bandung, Jawa Barat, pada Kamis kemarin pukul 20.00 WIB juga
dibarengi ancaman pembakaran masjid. Massa memaksa jemaah Ahmadiyah untuk tidak
melakukan peribadahan yang berhubungan dengan Idul Adha, baik shalat Id maupun
penyembelihan hewan kurban. (Kompas, Jumat, 26 Oktober 2012).
Kejadian
ini sungguh mencoreng kesucian dari perayaan Idul Adha. Bagaimana tidak, perayaan
yang menjadi tradisi umat islam ini seharusnya dapat diresapi maknanya bukan
untuk menguatkan ego semata dengan dalih pemahaman agama yang berbeda. Pada
dasarnya dalam islam sendiri, umat muslim memang diwajibkan untuk menjalankan
tradisi ini. Inilah yang disebut cak nur bahwa pemahaman agama yang fundamental
dapat menjadi bahaya tersendiri. Sungguh peristiwa yang seharusnya tidak
terjadi.
Konflik
yang terjadi dalam internal umat islam ini memang bukan kali ini saja muncul.
Konflik ini dimulai dengan adanya kelompok islam Ahmadiyah yang mempunyai
pemahaman yang berbeda dalam memaknai islam. Dalam permasalahan ini pemerintah
dan pemuka agama dianggap molor dalam
menanganinya.
Persoalannya
di Indonesia hukum tidak dapat berbuat banyak pada kasus terkait masalah agama.
Hukum yang dibuat seharusnya menjadi acuan dalam menangani masalah, termasuk
masalah agama namun menjadi tidak berdaya dalam masalah agama. Dalam kasus ini
juga terlihat bahwa polisi tidak dapat membuat keputusan sesuai hukum.
Dilansir
kompas pada Jumat, 26
Oktober 2012, Di kantor polisi, sekitar pukul 22.00 WIB, pihak penyerang
meminta kesepakatan kepada pihak Ahmadiyah untuk tidak melakukan shalat Idul
Adha dan penyembelihan hewan kurban. Setelah itu, perwakilan pihak Ahmadiyah
menyetujui dan akan menuruti permintaan pihak penyerang. Setelah sepakat,
beberapa orang perwakilan penyerang diizinkan pulang oleh polisi. Sementara
tiga orang masih ditahan untuk menandatangani surat atas janjinya akan menuruti
permintaan pihak penyerang.
Pihak penegak hukum seolah tak
berdaya berhadapan dengan kasus ini, jelas-jelas dalam kasus ini jemaah
Ahmadiyah menjadi korban penyerangan tetapi tidak mendapat perlindungan hukum
bahkan menjadi sasaran hukum. Pelarangan yang dilakukan pihak kepolisian ini
jelas menjadi pelanggaran hukum. Pada dasarnya tugas polisi untuk memberikan
perlindungan hukum justru menjadi pelarangan dengan mengabulkan pihak
penyerang.
Dari kasus ini terlihat bahwa
pemahaman agama umat islam masih fundamental. Logisnya, salah satu kelompok
muslim menganggap bahwa ajaran Ahmadiyah di anggap sesat karena terdapat
perbedaan ritual-ritual keagaman yang biasa dilakukan sebagian besar kelompok muslim. Namun disaat Idul Adha
ritual keagamaan yang dilakukan jemaah Ahmadiyah sama seperti yang dilakukan
umat muslim pada umumnya, yaitu sholat Ied dan menyembelih hewan kurban tetapi
ini masih menjadi protes.
Pada tataran teoritis Durkheim
menginterpretasikan konsepsinya mengenai masalah ritual keagamaan. Menurut
Durkhiem, ritual keagamaan adalah yang paling penting dalam mekanisme ekspresi
dan perwujudan sentimen-sentimen yang paling esensial bagi integrasi
intitusional masyarakat[1].
Dari interpretasi Durkheim jelas bahwa kesamaan dan keberagaman ritual agama
masyarakat bisa saja membuat integrasi dan sentiment-sentimen yang
ditimbulkannya, tercermin ketika melihat pada kasus di atas.
Berkaitan dengan masalah ini cak nur
juga pernah mengungkapkan konsepsinya tentang pemahaman agama yang hanya
mengacu pada simbol, menurutnya berhentilah mensucikan yang sebenarnya tidak
suci, dan mensucikan yang seharusnya itu suci. Ini berarti untuk menyeru bahwa
yang kita sembah adalah Tuhan satu yaitu Allah SWT bukan menyembah agama.
[1]
Robertson, Roland , agama dalam analisa
dan interpretasi sosiologis. PT RajaGrafindo Persada 1995, h.56
Tidak ada komentar:
Posting Komentar