Senin, 12 November 2012

Kasus Penyerangan Masjid Ahmadiyah dalam Analisa Sosiologis


oleh : M. Haiqal Arifianto

Di Negara Indonesia keragaman umat beragama menjadi hal yang sudah biasa dengan menganut pada asas demokrasi tentang kebebasan beragama. Bahkan pada masa kepemerintahan yang dipimpin oleh presiden Abdurrahman Wahid atau yang sering akrab disapa Gusdur, agama di Indonesia menjadi sangat plural dengan menambah agama Kong Hu Cu
sebagai yang di akui oleh Indonesia. Walaupun begitu masyarakat Indonesia belum dewasa dalam menanggapi perbedaan agama. Masih saja banyak terjadi konflik-konflik terkait masalah agama dari antar agama sampai pada kesamaan agama dengan pemahaman yang berbeda.
Fenomenanya kini yang sering di angkat media adalah persoalan konflik agama yang lebih sering di lakukan oleh masyarakat muslim, miris memang melihatnya. Padahal ketika kita mengacu pada sejarah islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad dikenalkan dengan cara yang halus, dan masuk ke Indonesia pun dengan cara serupa. Berbanding terbalik islam pada zaman dahulu hingga zaman sekarang. Kembali pada persoalan konflik agama di Indonesia, baru-baru ini perayaan idul adha tercoreng dengan terjadinya penyerangan Masjid Ahmadiyah An-Nashir oleh sekelompok masa di Bandung.
Penyerangan yang dilakukan oleh sekitar 30 orang di Masjid Ahmadiyah An-Nashir di Jalan Sapari, Kecamatan Astanaanyar, Bandung, Jawa Barat, pada Kamis kemarin pukul 20.00 WIB juga dibarengi ancaman pembakaran masjid. Massa memaksa jemaah Ahmadiyah untuk tidak melakukan peribadahan yang berhubungan dengan Idul Adha, baik shalat Id maupun penyembelihan hewan kurban. (Kompas, Jumat, 26 Oktober 2012).
Kejadian ini sungguh mencoreng kesucian dari perayaan Idul Adha. Bagaimana tidak, perayaan yang menjadi tradisi umat islam ini seharusnya dapat diresapi maknanya bukan untuk menguatkan ego semata dengan dalih pemahaman agama yang berbeda. Pada dasarnya dalam islam sendiri, umat muslim memang diwajibkan untuk menjalankan tradisi ini. Inilah yang disebut cak nur bahwa pemahaman agama yang fundamental dapat menjadi bahaya tersendiri. Sungguh peristiwa yang seharusnya tidak terjadi.
Konflik yang terjadi dalam internal umat islam ini memang bukan kali ini saja muncul. Konflik ini dimulai dengan adanya kelompok islam Ahmadiyah yang mempunyai pemahaman yang berbeda dalam memaknai islam. Dalam permasalahan ini pemerintah dan pemuka agama dianggap molor dalam menanganinya.
Persoalannya di Indonesia hukum tidak dapat berbuat banyak pada kasus terkait masalah agama. Hukum yang dibuat seharusnya menjadi acuan dalam menangani masalah, termasuk masalah agama namun menjadi tidak berdaya dalam masalah agama. Dalam kasus ini juga terlihat bahwa polisi tidak dapat membuat keputusan sesuai hukum.
Dilansir kompas pada Jumat, 26 Oktober 2012, Di kantor polisi, sekitar pukul 22.00 WIB, pihak penyerang meminta kesepakatan kepada pihak Ahmadiyah untuk tidak melakukan shalat Idul Adha dan penyembelihan hewan kurban. Setelah itu, perwakilan pihak Ahmadiyah menyetujui dan akan menuruti permintaan pihak penyerang. Setelah sepakat, beberapa orang perwakilan penyerang diizinkan pulang oleh polisi. Sementara tiga orang masih ditahan untuk menandatangani surat atas janjinya akan menuruti permintaan pihak penyerang.
Pihak penegak hukum seolah tak berdaya berhadapan dengan kasus ini, jelas-jelas dalam kasus ini jemaah Ahmadiyah menjadi korban penyerangan tetapi tidak mendapat perlindungan hukum bahkan menjadi sasaran hukum. Pelarangan yang dilakukan pihak kepolisian ini jelas menjadi pelanggaran hukum. Pada dasarnya tugas polisi untuk memberikan perlindungan hukum justru menjadi pelarangan dengan mengabulkan pihak penyerang.
Dari kasus ini terlihat bahwa pemahaman agama umat islam masih fundamental. Logisnya, salah satu kelompok muslim menganggap bahwa ajaran Ahmadiyah di anggap sesat karena terdapat perbedaan ritual-ritual keagaman yang biasa dilakukan sebagian besar  kelompok muslim. Namun disaat Idul Adha ritual keagamaan yang dilakukan jemaah Ahmadiyah sama seperti yang dilakukan umat muslim pada umumnya, yaitu sholat Ied dan menyembelih hewan kurban tetapi ini masih menjadi protes.
Pada tataran teoritis Durkheim menginterpretasikan konsepsinya mengenai masalah ritual keagamaan. Menurut Durkhiem, ritual keagamaan adalah yang paling penting dalam mekanisme ekspresi dan perwujudan sentimen-sentimen yang paling esensial bagi integrasi intitusional masyarakat[1]. Dari interpretasi Durkheim jelas bahwa kesamaan dan keberagaman ritual agama masyarakat bisa saja membuat integrasi dan sentiment-sentimen yang ditimbulkannya, tercermin ketika melihat pada kasus di atas.
Berkaitan dengan masalah ini cak nur juga pernah mengungkapkan konsepsinya tentang pemahaman agama yang hanya mengacu pada simbol, menurutnya berhentilah mensucikan yang sebenarnya tidak suci, dan mensucikan yang seharusnya itu suci. Ini berarti untuk menyeru bahwa yang kita sembah adalah Tuhan satu yaitu Allah SWT bukan menyembah agama.


[1] Robertson, Roland , agama dalam analisa dan interpretasi sosiologis. PT RajaGrafindo Persada 1995, h.56

Tidak ada komentar:

Posting Komentar