Senin, 22 Oktober 2012

Islam yang Cocok dengan Karakteristik Masyarakat Indonesia


oleh : M. Haiqal Arifianto


Masyarakat indonesia yang berkarakter majemuk ini menjadi menarik ketika islam yang ada pun juga beragam. Pada proses penyebarannya pun juga terjadi dualisme ajaran, yaitu : falsafi dan suni. Sejarah islam indonesia memiliki keunikan tersendiri karena di samping menjadi faktor pemersatu bangsa juga memberikan nuansa baru dalam keberislaman, yang berbeda dengan karakter dan sifat keberislaman di negara islam lain, terutama di timur tengah. Islam di indonesia ternyata mampu berinteraksi dengan budaya local,seperti bentuk masjid dan tata cara yang mengiringi ritual keagamaan. Maulid adalah
bagian yang tidak terpisahkan dari budaya local yang berpadu dengan peringatan kelahiran Nabi Muhammad SAW. Kalau di teliti lebih jauh, banyak sekali keunikan dalam keberislaman di indonesia.
Azyumardi Azra mengatakan  bahwa fenomena tersebut sebagai bentuk akomodasi islam di indonesia. Dia membagi islam dalam konteks tradisi besar dan kecil. Tradisi besar adalah yang mengandung ajaran-ajaran pokok islam, seperti, syahadat, shalat, dan puasa. Di samping tradisi besar itu, terdapat tradisi kecil yang mengiringinya, seperti tradisi seperti membawa obor ketika malam-malam ganjil setelah tanggal 20 Ramadhan untuk mencari lailautul qadr. Dinamika inilah yang terjadi di indonesia, sehingga warna keislaman lebih bervariasi di bandingkan dengan di tempat asalnya.[1]
Kondisi ini memang menarik para peneliti asing yang ingin mengetahui lebih banyak hal tentang islam di indonesia. Para peneliti ini kemudian tidak hanya sekedar meneliti, tetapi menghasilkan karya yang monumental, sehingga menjadi terkenal karena meneliti islam indonesia. Seperti Clifford Geertz dan William Liddle, mereka adalah ilmuan barat yang terkenal karena meneliti islam di indonesia. Bahkan perkataan yang beredar, bahwa islam Indonesia merupakan surga bagi para peneliti asing. Mereka amat menikmati keragaman dan variasi umat islam indonesia dan keragaman itu pulalah mereka terdorong untuk menemukan teori teori baru, terutama dalam bidang ilmu sosial.[2]
Islam telah memberi kontribusi yang amat signifikan bagi keindonesiaan dan peradaban, baik dalam bentuk nilai-nilai maupun bangunan fisik. Islam indonesia ternyata tidak kalah penting di bandingkan dengan islam di negara negara timur tengah. Bahkan Falzurrahman mengatakan bahwa islam indonesia merupakan corak islam masa depan yang cukup menjanjikan di era globalisasi.
Adanya kemungkinan akulturasi timbal-balik antara Islam dengan budaya lokal (local genius) dalam hukum Islam secara metodologis sebagai sesuatu yang memungkinkan diakomodir eksistensinya. Hal ini dapat kita lihat dalama kaidah fiqh yang menyatakan “al-‘a>dah muhakkamah” (adat itu bisa dijadikan hukum), atau kaidah “al-‘a>dah shariatun muhkamah” (adat adalah syariat yang dapat dijadikan hukum. Kaidah ini memberikan justifikasi yuridis bahwa kebiasaan suatu masyarakat bisa dimungkinkan untuk dijadikan dasar penetapan hukum ataupun sumber acuan untuk bersikap.Hanya saja tidak semua adat/ tradisi bisa dijadikan pedoman hukum karena tidak semua unsur budaya pasti sesuai dengan ajaran Islam. Unsur budaya lokal yang tidak sesuai diganti atau disesuaikan sebagaimana misi Islam sebagai pembebas manusia dengan semangat tawhi>d. Dengan semangat tawhi>d ini manusia dapat melepaskan diri dari belenggu tahayul, mitologi dan feodalisme, menuju pada peng-esa-an Allah sebagai sang Pencipta. Pesan moral yang terkandung dalam kadiah fiqh di atas adalah perlunya bersikap kritis terhadap sebuath tradisi, dan tidak asal mengadopsi. Sikap kritis inilah yang justru menjadi pemicu terjadinya transformasi sosial masyarakat yang mengalami persinggungan dengan Islam. Dengan demikian kedatangan Islam selalu mendatangkan perubahan masyarakat atau pengalihan bentuk (transformasi) sosial menuju ke arah yang lebih baik.[3]
De Graaf berpendapat bahwa historiografi Indonesia dan Malaya tentang sejarah awal islam di kawasan ini tidak dapat di abaikan sama sekali. Mayoritas historiografi nusantara itu lebih banyak berisi mitos daripada sejarah dalam pengertian barat. Karena itu, nilainya lebih terletak pada kenyataan bahwa historiografi tersebut adalah hasil pribumi dan merupakan produk tradisi kebudayaan yang sama, bukan pada historisitasnya.[4]
Dari yang di katakan para tokoh islam dan ahli tersebut, islam di Indonesia memang menarik bagi yang ingin menelitinya, dan menarik dengan keberagamannya. Karakteristik Islam di Indonesia majemuk, namun menurut saya ini paling Nampak di temukan di daerah jawa, di sana masih menyangkutkan dengan mitos-mitos dari nenek moyang dan berbagai ritual yang bersifat teologis. Dapat dikatakan bahwa islam disana di kaitkan dengan hah-hal tradisionil.
Namun di bagian Indonesia lain pemikiran-pemikiran islam dengan gagasan rasionalitas ataupun sekulerisasi. Gagasan rasionalitas islam biasanya hokum-hukum islam di sesuaikan dengan perkembangan zaman. Biasanya tokoh-tokoh medernisasi islam yang mempeloporinya, karena seiring perkembangan zaman pula maka hukumnya pun di sesuaikan dengan zamannya. Lalu ada juga karakteristik islam dengan gagasan sekularisasi, yaitu memisahkan antara urusan agama dengan urusan dunia.
Islam di Indonesia juga terdapat berbagai kelompok aliran-aliran islam. Bahkan akhir-akhir ini terdapat kelompok aliran islam Indonesia yang menginginkan system pemerintahan khalifah di jadikan sebagai system Negara. Yang memang cita-cita ini bias di bilang ekstrem untuk di jadikan system dengan perkembangan zaman yang terjadi, karena sudah berbeda zamannya.
Di daerah Indonesia lain, seperti di aceh system yang di berlakukan disana memakai system syariah islam. Berlakunya hukum islam disana tidak hanya sebagai bentuk hokum yang serta merta di acuhkan tetapi juga menjadikannya di terapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Keislaman Indonesia memiliki banyak wajah. Ada berwajah santri, abangan, dan priyayi. Nuansa sinkretis sangat kental dalam kehidupan masyarakat. Di Indonesia, keberagamaan bisa berdamai dengan kearifan lokal setiap daerah. Wajah keislaman banyak menampilkan karakter dan sikap yang berbeda-beda. Hal ini dipengaruhi kuat oleh persoalan negara yang sangat kompleks. Selain faktor birokrasi, faktor historis sangat kuat memengaruhi. Pertemuan Islam, budaya lokal, dan kolonialisme melahirkan sikap keislaman yang beragam seperti itu.[5]
Islamisasi di nusantara merupakan suatu prosesyang bersifat evolusioner. Manakala islam segara memperoleh konversi banyak penguasa pribumi, islam kemuduian berkembang di tingkat rakyat bawah. Islamisasi berbagai kelompok etnis yang hidup di berbagai wilayah yang berbeda benar-benar bukan merupakan bentuk konversi tunggal seragam, melainkan proses panjang menuju kompromi yang lebih besarterhadap eksklusivitas islam. Proses ini yang dapat di amati secara jelas masih terus berlanjut sampai saat ini. Berbagai factor memberikan sumbangan terhadap proses menuju kompromi ini. Berbagai keilmuan dan pembelajaran islam secara local, kontak keagamaan dan intelektual dengan pusat-pusat islam di timur tengah, dan perubahan social ekonomi, dan politik, memberikan kontribusi penting dalam pencapaian kompromi lebih besar dengan islam.[6]
Dalam berbagai hal, pencarian terhadap bentuk kompromi ini melibatkan proses panjang yang kadang-kadang menyakitkan. Selalu ada unsure tertentu di dalam masyarakat muslim, terutama di kalangan kaum ulama, yang berkeinginan mempercepat proses itu dengan mendorong dan bahkan memaksa penduduk sekuat tenaga untuk menanggalkan semua kepercayaan dan praktik yang mereka anggap tidak lazim atau tidak islami. Berlanjutnya ketidaksesuaian terhadap nilai dan ajaran islam yang di pandang sebagai islam genuine dan autentik, sebagaimana yang bias di duga, memberikan alas an pokokn bagi beberapa kaum ulama untuk melakukan pembaruan keagamaan, bahkan dengan cara-cara keras, radikal dan revolusioner.[7]
Dalam hal kategori konversi dan adhesi. Nock tidak dapat menjelaskan secara memuaskan proses konversipenduduk kepuulauan melayu-indonesia ke dalam islam. Sesuai definisi Nock islam merupakan agama profetik yang menuntut komitmen penuh dan tidak memberikan kompromi bagi adanya jalan keselamatan yang lain. Sebagaimana yang bias di amat, konversi penduduk nusantara ke dalam islam tidak bersifat eksklusif, dan sebagian beasr muslim melayu-indonesia yang baru memeluk islam masih mempertahankan berbagai komitmen mereka terhadap kepercayaan dan praktik lama mereka yang tidak bersifat profetik.
Oleh karena itu, jika kita percaya dengan kerangka nock penerimaan mereka terhadap islam lebih tepat di ssebut adhesi. Sebagaimana yang di ungkapkan dalam sebagian besar historiografi awal islam melayu-indonesia, pada umumnya orang-orang setempat menerima islam hanya memberikan satu bentuk tambahan kepercayaan dan praktik yang dapat berubah sesuai dengan tujuan-tujuan tertentu.[8]
Setelah banyak di singgung diantara para tokoh tentang kemajemukan masyarakat dan karakterisik islam Indonesia. Dan menurut saya dari keberagaman masyarakat Indonesia bahwa islam yang cocok untuk masyarakat Indonesia yaitu dalam bentuk adhesi. Karena masyarakat Indonesia menerima islam itu tidak pula meninggalkan kepercayaan dan praktik keagamaan yang lama. Tidak serta merta dengan konversi, yaitu merubah kepercayaan lama dengan islam.
Dan menurut saya ketika ada kelompok yang ingin merubah menjadi system islam sepenuhnya ( system khalifah ) itupun tidak sesuai dengan seluruh karakter masyarakat indonesia  yang beragam. Lalu ketika di kaitkan dengan islam yang radikal ini pun tidak pula cocok dengan karakteristik masyarakat Indonesia yang ramah dan rendah hati. Pada hakikatnya islam yang seperti ini sulit dilakukan ketika islam radikal ini dengan keras melaksanakan system islam.
Islam liberal yang merupakan kebebasan untuk melaksanakan syariat islam ini pun rasanya tidak cocok untuk karakteristik masyarakat islam indonesia. Karena hakikatnya masyarakat islam Indonesia termasuk patuh dengan norma-norma yang ada dan senantiasa untuk menjalankannya. Dapat di lihat masih banyak masyarakat Indonesia yang senantiasa melakukan ritual-ritual keagamaan yang berbau mistik, yang pada dasarnya hal ini tidak rasional untuk dilakukan.
Lalu islam yang cocok untuk masyarakat Indonesia yang majemuk ini, adalah islam yang moderat. Seperti halnya islam yang di ajarkan oleh para sufi mewujudakn islam berwatak moderat, senantiasa berjalan lurus dengan yang pernah di ajarkan. Islam yang seperti ini di nilai cocok karena senantiasa patuh dengan ajaran islam yang benar dan di sesuaikan dengan perkembangan zaman, tanpa terpengaruh dengan islam yang senantiasa menawarkan sesuatu dengan kemudahan dan tidak sesuai dengan ajaran islam yang sebenarnya.

Referensi
Azyumardi Azra, jaringan global dan lokal islam nusantara, (mizan)
Musyarifah sunanto, sejarah peradaban islam di indonesia, (Jakarta : Rajawali pres, 2010)

Azyumardi Azra, renaisans islam asia tenggara, ( sejarah wacana dan kekuasaan ), Jakarta, Rosda, 1999


[1] Kutipan Azurmardi Azra dalam buku. Musyarifah sunanto, sejarah peradaban islam di indonesia, (Jakarta : Rajawali pres, 2010)
[2] Musyarifah sunanto, sejarah peradaban islam di indonesia.
[4] Azyumardi Azra, renaisans islam asia tenggara, ( sejarah wacana dan kekuasaan ), Jakarta, Rosda, 1999, h. 27
[6] Azyumardi Azra, jaringan global dan lokal islam nusantara, (mizan), h. 21
[7] Azyumardi Azra, jaringan global dan lokal islam nusantara, h.21
[8] Azyumardi Azra, jaringan global dan lokal islam nusantara, h.20

2 komentar:

  1. terimakasih artikelnya sangat membantu pembuatan tugas agama saya :)

    BalasHapus
  2. Winstar Casino and Resort - Jackson County
    WINSTAR CASINO 전라남도 출장마사지 and 울산광역 출장마사지 RESORT in Jackson County, IN at 1535 아산 출장마사지 Seminole Way This casino offers 이천 출장마사지 everything you need for the ultimate 안양 출장마사지 entertainment vacation.

    BalasHapus