Senin, 12 November 2012

Robert K. Merton – Model Struktural Fungsional



Biografi
Robert King Merton (biasa disingkat Robert K. Merton) lahir pada tanggal 4 Juli 1910 di pemukiman kumuh di Philadelphia Selatan. Ia berkuliah di universitas Temple kemudian melanjutkan di Universitas Harvard.
Model struktual fungsional
Model struktural fungsional Merton mengkritik apa yang dilihatnya sebagai tiga postulat dasar
analisis fungsional seperti yang dikembangkan oleh antropolog Malinowsi dan Radcliffe Brown. Postulat yang pertama adalah kesatuan fungsional masyarakat. Postulat ini menyatakan bahwa seluruh kepercayaan dan praktik sosial budaya standar bersifat fungsional bagi masyarakat secara keseluruhan maupun bagi individu dalam masyarakat. Pandangan ini mengandung arti bahwa berbagai sistem sosial pasti menunjukkan tingginya level integrasi. Namun, Merton berpandangan bahwa meskipun hal ini berlaku bagi masyarakat kecil dan primitif, generalisasi ini dapat diperluas pada masyarakat yang lebih besar dan lebih kompleks.
Postulat yang kedua adalah fungsionalisme universal. Jadi, dinyatakan bahwa semua bentuk dan struktur sosial kultural memiliki fungsi positif. Merton berpendapat bahwa ini bertentangan dengan apa yang ditemukan didunia nyata. Jelas bahwa tidak setiap struktur, adat istiadat, gagasan, keyakinan dan lain sebagainya memiliki fungsi positif. Contoh, nasionalisme buta bisa jadi sangat disfungsional di dunia yang tengah mengembangkan persenjataan nuklir.
Postulat yang ketiga adalah indispensabilitas. Argumennya adalah bahwa seluruh aspek standar masyarakat tidak hanya memiliki fungsi positif namun juga merepresentasikan bagian-bagian tak terpisahkan dari keseluruhan. Postulat ini mengarah pada gagasan bahwa seluruh struktur dan fungsi secara fungsional diperlukan oleh masyarakat. Tidak ada struktur dan fungsi yang dapat bekerja sebaik yang sekarang ada di dalam masyarakat. Kritik Merton, mengikuti Parsons adalah bahwa paling tidak kita harus bersedia mengakui bahwa ada berbagai alternatif struktural dan fungsional di dalam masyarakat.
Pendapat Merton adalah bahwa seluruh postulat fungsional tersebut bersandar pada pernyataan nonempiris yang didasarkan pada sistem teoretis abstrak. Minimal, menjadi tanggung jawab sosiolog untuk menelaah setiap postulat tersebut menjadi empiris. Keyakinan Merton adalah bahwa uji empiris, bukan pernyataan teoretis, adalah sesuatu yang krusial bagi analisis fungsional. Inilah yang mendorongnya untuk mengembangkan “paradigma” analisis fungsional sebagai panduan ke arah pengintegrasian teori dan riset.
Dari sudut pandang tersebut Merton menjelaskan bahwa analisis struktural fungsional memusatkan perhatian pada kelompok, organisasi, masyarakat dan kebudayaan. Ia menyatakan bahwa objek apa pun yang dapat dianalisis secara struktural fungsional harus “merepresentasikan unsur-unsur standar (yaitu, yang terpola dan berulang)”(Merton, 1949/1968:104). Ia menyebutkan hal tersebut sebagai “peran sosial, pola-pola institusional, proses sosial, pola-pola kultural, emosi yang terpola secara kultural, norma sosial, organisasi kelompok, struktur sosial, alat kontrol sosial dan lain sebagainya”(Merton, 1949/1968: 104).
Pada fungsionalis struktural awal cenderung lebih memusatkan perhatiannya pada fungsi-fungsi sebuah struktur atau institusi. Namun, menurut Merton, para analisis awal itu cenderung mencampuradukkan motif-motif subjektif individu dengan fungsi-fungsi struktur atau institusi. Fokus pada fungsionalis struktural harus diarahkan pada fungsi-fungsi sosial ketimbang pada motif individu. Fungsi menurut Merton, didefinisikan sebagai “konsekuensi-konsekuensi yang disadari dan yang menciptakan adaptasi atau penyesuaian suatu sistem”(Merton, 1949/1968: 105).
Namun, terdapat bias ideologi ketika orang hanya memusatkan perhatiannya pada adaptasi atau penyesuaian, karena selalu ada konsekuensi positif. Namun, perlu diketahui bahwa suatu fakta sosial dapat mengandung konsekuensi negatif bagi fakta sosial lain. Untuk memperbaiki kelemahan serius pada fungsionalisme struktur awal ini, Merton mengembangkan gagasan tentang disfungsi. Ketika struktur atau institusi dapat memberikan kontribusi pada terpeliharanya bagian lain sistem sosial, mereka pun dapat mengandung konsekuensi negatif bagi bagian-bagian lain tersebut. Perbudakan di Amerika Serikat belahan selatan jelas mengandung konsekuensi positif bagi orang kulit putih di belahan selatan, seperti tersedianya tenaga kerja murah, dukungan bagi ekonomi kapas dan status sosial. Ia pun mengandung disfungsi, misalnya, membuat warga selatan terlalu bergantung pada ekonomi pertanian dan tidak siap menghadapi industrilisasi.
Merton pun mengemukakan gagasan tentang nonfungsi, yang ia definisikan sebagai konsekuensi yang tidak relevan bagi sistem tersebut. Termasuk didalamnya adalah bentuk-bentuk sosial yang “masih bertahan” sejak masa awal sejarah. Meskipun bentuk-bentuk tersebut mungkin mengandung konsekuensi negatif atau positif di masa lalu, tidak ada efek signifikan yang mereka berikan pada masyarakat sekarang. Contoh gerakan pengekangan diri perempuan kristen.
Apakah fungsi positif lebih banyak daripada disfungsi atau sebaliknya. Untuk membantu menjawab pertanyaan itu, merton mengembangkan konsep “keseimbangan bersih” (net balance). Kegunaan konsep Merton berasal dari caranya mengarahkan perhatian sosiolog ke pertanyaan yang relatif penting.
Merton juga memperkenalkan konsep fungsi manifes dan fungsi laten. Secara sederhana, fungsi manifes adalah yang dikehendaki, sementara fungsi laten adalah yang tidak dikehendaki. Contoh fungsi manifes perbudakan, meningkatkan produktivitas ekonomi kawasan selatan, namun ia memiliki fungsi laten yaitu menghasilkan kelas budak yang berfungsi meningkatkan status sosial warga kulit putih di selatan, kaya atau miskin. Gagasan ini terkait dengan konsep merton yang lain – konsekuensi yang tidak terantisipasi.
Merton menjelaskan bahwa konsekuensi-konsekuensi yang tidak diantisipasi dan fungsi-fungsi laten tidaklah sama. Fungsi laten adalah suatu tipe konsekuensi yang tidak terantisipasi, sesuatu yang fungsional bagi sistem yang dirancang. Namun, ada dua jenis konsekuensi tak terantisipasi lain : “hal-hal disfungsional bagi sistem yang telah ada dan itu semua mencakup disfungsi laten,” dan “hal-hal tidak relevan dengan sistem yang mereka pengaruhi secara fungsional atau disfungional...konsekuensi-konsekuensi nonfungsional” (Merton, 1949/1968: 105).
Sebagai klarisifikasi lebih lanjut atas teori fungsional, Merton menunjukkan bahwa suatu struktur bisa jadi disfungsional bagi sistem secara keseluruhan namun mungkin saja terus ada. Orang dapat mengambil contoh bahwa diskriminasi terhadap kulit hitam, perempuan dan kelompok minoritas lain adalah sesuatu yang disfungsional bagi masyarakat Amerika, namun itu semua terus ada karena fungsional bagi sebagian sistem sosial, misalnya : diskriminasi terhadap kaum perempuan biasanya bersifat fungsional bagi laki-laki.
Kritik utama
kritik substantif menyatakan bahwa fungsionalisme struktural tidak terlalu membahas sejarah, karenannya secara inheren ia bersifat ahistoris. Sebenarnya, fungsionalisme struktural berkembang, paling tidak sebagian, sebagai reaksi atas pendekatan evolusioner historis yang dikembangkan beberapa antropolog. Pada tahun-tahun awal, fungsionalisme melangkah terlalu jauh mengkritik teori evolusi dan mulai memusatkan perhatiannya pada masyarakat kontemporer ataupun masyarakat abstrak. Namun, fungsionalisme struktural tidak musti ahistoris (Turner dan Maryanski, 1979).
Para fungsionalis struktural juga dikritik karena tidak mampu menjelaskan proses perubahan sosial secara efektif (Abrakamson, 1978, P. Cohen, 1968, Mills 1959, Turner dan Maryanski).
Percy Cohen (1968) melihat biang masalah ini didalam teori fungsionalisme struktural itu sendiri, dimana seluruh elemen masyarakat dipandang mempengaruhi satu sama lain sekaligus mempengaruhi sistem secara keseluruhan.
Kritik metodologis dan logis. Salah satu kritik yang sering dikemukakan (Abrahamson, 1978, Mills, 1959) adalah bahwa fungsionalisme struktural pada dasarnya kabur, tidak jelas dan ambigu. Bagian dari ambiguitas ini dapat ditelusuri ke dalam kenyataan bahwa para fungsionalis struktural lebih banyak membicarakan sistem sosial yang abstrak ketimbang masyarakat yang riil.
Daftar pustaka
Poloma, margaret M. 2004. Sosiologi kontemporer. PT Raja Granfindo Persada : Jakarta.
Ritzer, George and Douglas J. Goodman. 2008. Teori Sosiologi dari sosiologi klasik sampai perkembangan mutakhir teori sosial post modern. Kreasi Wacana : Yogyakarta.
Ritzer, George dan Douglas J. Goodman. 2010. Teori sosiologi modern. Edisi keenam. Kencana prenada media group : Jakarta.

1 komentar: