oleh : M.Haiqal Arifianto
Islam masuk ke Indonesia, bukan dengan peperangan ataupun
penjajahan. Islam berkembang dan tersebar ke Indonesia justru dengan cara damai
berkat kegigihan para Ulama. Karena memang para Ulama berpegang teguh pada
prinsip.
persepsi tersebut bisa di artikan bahwa Islam datang dengan
prinsip-prinsip perdamaian, persamaan antara manusia (tidak ada kasta)
,
menghilangkan perbudakan dan yang paling penting juga ialah masuk ke dalam
agama Islam sangatlah mudah hanya dengan membaca dua kalimah syahadat dan tidak
ada paksaan.
Proses
islamisasi di Indonesia memang berbeda dari pada proses islamisasi di Negara
lain. Ketika proses islamisasi di Negara lain memungkinkan untuk ekspansi
militer atau seperti perluasan wilayah/ kekuasaan dan penguatan kekuatan
politik islam dalam proses islamisasinya, namun di nusantara kedatangan dan
penyebaran islamnya cenderung melalui jalan damai.
Sejarah mencatat semua Agama disiarkan dan dikembangkan oleh
para pembawanya yang disebut utusan tuhan dan oleh para pengikutnya, mereka
yakin bahwa kebenaran dari Tuhan itu harus disampaikan kepada umat manusia
untuk menjadi pedoman hidup. Para penyebar Agama banyak menempuh perjalanan
jarak jauh dari tempat kelahirannya sendiri untuk menyampaikan ajarannya,
atas dasar inilah para muballigh berlayar dan berdagang ke Nusantara untuk
menyiarkan Islam.[1]
Tetapi
tetap saja ada sedikit penggunaan kekuatan untuk menjadikan masyarakat
Indonesia menjadi islam dan menurut saya sah-sah saja penggunaan kekuatan ini
dilakukan karena di setiap Negara yang memang belum menganut islam sama sekali
akan ada terus pertentangan-pertentangan dari Negara tersebut yang bisa di
anggap bisa merusak system sebelumnya. Lalu penggunaan kekuatan ini dilakukan
untuk merubah mainset para penguasa Negara tersebut.
Penyebaran
islam secara damai dalam proses penyebaran islam di nusantara tetap saja
menjadi cara utama. Akibat dari cara ini dapat di lihat islam di Indonesia
berwatak moderat yang berbeda dari Negara lain. Dari islam Indonesia yang
berwatak moderat ini para ahli mengkaitkan penyebarannya yang tidak terlepas
dari peran para sufi yang memang para sufi ini berwatak sabar dalam berdakwah.
Pergulatan
antara emporium dan imperium serta komunikasi yang diselenggarakan para
penyebar islam, pedagang, musafir, ulama, dan kaum sufi berdampak semakin
diakuinya peranan mereka dalam dalam struktur komunitas pribumi. Tumbuhnya
pusat-pusat kekuasaan islam, tentu tidak lepas dari strategi dakwah yang
dilaksanakan para wali dan penyebar islam di nusantara[2]
Tasawuf (mistik, sufi, olah spiritual) berperan besar dalam
menentukan arah dan dinamika kehidupan masyarakat. Kehadirannya meski sering
menimbulkan kontroversi, namun kenyataan menunjukkan bahwa tasawuf memiliki
pengaruh tersendiri dan layak diperhitungkan dalam upaya menuntaskan
problem-problem kehidupan sosial yang senantiasa berkembang mengikuti gerak
dinamikanya.[3]
Menurut
A.H. johns yang di kutip dalam buku Azyumardi Azra bahwa banyak sumber local
yang menghubungkan pengenalan islam di daerah mereka kepada guru-guru sufi
pengembara. Karakteristik mereka secara lebih terperinci seperti “ mereka adalah juru dakwah keliling yang
merambah berbagai tempat di nusantara yang dengan sukarela ikut merasakan
kemelarata; mereka sering dihubungkan dengan ikatan dagang atau kerajinan
sesuai dengan tarekat yang mereka ikuti; mereka mengajarkan teosofi sinkretis
yang sangat akrab dengan orang-orang indonesia, tetapi tetap berada di dalam
lingkup dogma-dogma islam yang fundamental; mereka pandai dalam hal magis dan
memiliki kekuatan-kekuatan penyembuhan serta tidak kurang secara sadar, mereka
siap menjaga kontinuitas dengan masa lalu dengan menggunakan istilah-istilah
dan unsur-unsur budaya pra-isalam dalam konteks islami.”[4]
Cara
dakwah yang dilakukan para sufi ini nampaknya memang berpengaruh terhadap watak
islam Indonesia. Teori sufi ini berhasil membuat suatu hubungan antara peristiwa
politik gelombang konversi ke dalam islam.[5]
Adapun dari tokoh yang mengatakan bahwa selain para pedagang yang berperan
dalam proses islamisasi, para juru dakwah di anggap sangat penting. Semula juru
dakwah di gambarkan sebagai satu pengaruh yang searah, namun pada masa kemudian
juru dakwah tidak lagi berasal dari luar tetapi dari orang-orang Indonesia
sendiri yang belajar di makkah.[6]
Kutipan
kata dari buku yang di tulis oleh Agus Munandar dengan menyebut juru dakwah
tersebut saya terjemahkan seperti para sufi karena karakternya tersebut mirip
serupa dengannya. Pada masa akhir pertengahan sudah terjadi ketegangan antara
islam ortodoks dengan sufisme, karena sejak abad ke 10 M dan selanjutnya muncul
doktrin baru di kalangan tarekat yang umumya bertentangan dengan ajaranislam
ortodoks dan praktik awal sufi.[7]
Dalam
konteks ini tasawuf yang berkembang di Indonesia di kelompokkan dalam dua
jenis, yaitu tasawuf falsafi dan tasawuf sunni.falsafi merujuk pada konsep
tasawuf yang di hubungkan dengan mistisme panteistik Ibnu Arabi. Ibnu Arabi di
kenal dengan ahli mistik islam yang mengajarkan kesatuan hamba da Tuhan. Adapun
sunni di hubungkan dengan model Al ghazali. Kedua tradisi tasawuf itu sama-sama
memiliki akar yang kuat dalam sejarah islam di nusantara. Tasawuf filsafi
pernah memperoleh kejayaan di aceh pada masa sultan alauddin dan tokoh lainnya.
Di pulau jawa, tasawuf falsafi di kembangkan oleh syeikh siti jenar beserta
murid-muridnya. Tasawuf falsafi mengalami masa kemunduran di aceh sejak
munculnya syaikh Nuruddin Ar- Raniri sebagai mufti kerajaan menggantikan As-
sumatrani. Ketika itu terjadi pembunuhan terhadap penganut tasawuf falsafi dan
pembakaran buku-bukunya.[8]
( dari buku agus yang mengutip buku shihab ).
Menurut
Abu Said Al- kharraz tasawuf adalah orang-orang yang di jernihkan hati dan
sanubarinya oleh Allahdan telah di penuhi dengan cahaya, mereka tenang bersama
Allah dan akan selalu mengingat Allah. Dari pengaruh islamisasi yang di lakukan
oleh para sufi yang memunculkan watak moderat, rasanya menurut saya perlu untuk
mengetahui para sufi yang mengajarkan dan yang di ajarkannya.
Sufi
pertama Indonesia adalah Hamzah Fansuri, karangannya tentang tarekat.ia
mengungkapkan gagasan-gagasan dalam syair, bercorak wahdat al-wujud yang
gampang mendorong kepada penafsiran panteistik. Dia adalah orang Indonesia asli
pertama yang secara pasti menganut tarekat qadariyah. Qadariyah adalah tarekat
pertama dalam sumber-sumber pribumi.[9]
Lalu sufi kedua yang terkenal di Indonesia adalah Syamsuddin yaitu murid dari Hamzah.
Dia adalah perumus metafisik ajaran martabat tujuh pertama di nusantara,
beserta pengaturan napas pada waktu zikir.[10]
Selanjutnya
dari sufi yang terkenal setelah Syamsuddin adalah Nuruddin al- Raniri. Dia
merupakan tokoh terakhir yang terdokumentasi sebagai pengaruh langsung tarekat
yang berkembang di Indonesia dari india. Sesudahnya, cabang tarekat dari india
berkembang dulu di makkah dan madinah baru kemudian di bawa ke Indonesia, di
antaranya tarekat syattariah yang di bawa oleh Abd. Rauf Sinkel. Al- Raniri
memiliki banyak keahlian: sebagai sufi, teolog, faqih, ahli hadis, sejarawan,
ahli perbandingan agama, dan politisi. Ia juga seorang khalifah tarekat
Rifa’iyah yang menyebarkan ke wilayah melayu, di samping tarekat Aydarusiyah
dan Qadariyah. Dia banyak menulis masalah kalam dan tasawuf menganut aliran
Asy’ariyah dan menganut paham wahdat al-wujud yang moderat.[11]
Peranan
para sufi ini pula membawa ajaran-ajaran untuk sumbangsi islam di nusantara.
tema sentral pemikiran Al-Raniri, Al-Sinkli, dan Al-Maqassari, yaitu
keselarasan antara aspek-aspek hukum dan mistis islam. Keselarasan ini juga
menjadi tema sentral dalam tulisan-tulisan Al-Palimbani dan rekan-rekannya.
Dalam seluruh tulisan mereka, kelihatan mereka sangat bersemangat mendamaikan
mistisme filosofis Ibn Arabi dengan tasawuf Al-Ghazali. Pada saat yang sama,
makna penting dari syariat terus menerus di tekankan.[12]
Sumbangan
besar untuk penyebaran lebih lanjut doktrin-doktrin hukum islam di berikan
Daawud Al-fatani, ulama paling produktif di antara para ulama melayu Indonesia
lainnya dalam abad 18. Dia juga merupakan contoh baik dari seorang ulama yang
berhasil dalam usahanya mendamaikan aspek hukum dan aspek mistis islam.
Menyangkut
pembaruan islam di wilayah nusantara, bukan semata-mata islam berorientasi pada
tasawuf, melainkan juga islam yang berorientasi pada syariat. Ini merupakan
perubahan besar dalam sejarah islam nusantara, sebab pada abad-abad sebelumnya,
islam mistislah yang berdominan. Setelah belajar di pusat jaringan di timur
tengah, para ulama Melayu-indonesia terus melakukan usah-usaha yang di jalankan
secara sadar, bahkan secara serentak, untuk menyebarkan neo-sufisme di
Indonesia.
Neo-sufisme
berbeda dari jenis tasawuf sebelumnya yang sebagian besarnya semacam penafsiran
mistiko-filosofis terhadap islam. Mempertahankan doktrin mistisme filosofis
tertentu, yang sangat penting bagi setiap jenis tasawuf, neo-sufisme memberikan
tekanan lebih besar pada kesetiaan dan kepatuhan total dari para penganutnya
kepada syariat. Lebih jauh lagi berbeda dengan tasawuf sebelumnya yang
cenderung medorong para sufi bersikap pasif, neo-sufisme menganjurkan
aktivisme. Keterlibatan dalam permasalahan duniawi dianggap sebagai salah satu
langkah penting menuju pemenuhan cita-cita mistis.[13]
Bangkitnya
neo-sufisme merupakn usaha jaringan ulama yang semakin Berjaya sejak menjelang
akhir abad ke 16. Jaringan ulam terpusat di Haramayn timbulnya sebagai akibat
interaksi berbagai tradisi pengetahuan dan keislaman dari afrika utara, mesir,
syiria, irak, yaman, india dan Haramayn sendiri.[14]
Dari
kegigihan dan kesabaran para sufi yang dengan dakwahnya yang dilakukan pada
saat islam masuk ke nusantara, adapun beberapa manfaat yang bisa saya ambil
dari dakwah yang dilakukan para sufi ini, antara lain :
- Berusaha menjaga persatuan dan
kerukunan antaraumat beragama, saling menghormati, dan tolong menolong.
- Kehadiran para pedagang Islam
yang telah berdakwah dan memberikan pengajaran Islam di bumi Nusantara
turut memberikan nuansa baru bagi perkembangan pemahaman atas suatu kepercayaan
yang sudah ada di nusantara ini. Dan Hasil karya para ulama yang berupa
buku sangat berharga untuk dijadikan sumber pengetahuan
[1]
Di kutip dari situs http://spupe07.wordpress.com/2010/01/09/perkembangan-islam-di-indonesia/
[2]
Hasan Muarif, menemukan peradaban (jejak
arkeologis dan historis), (Jakarta, logos wacana ilmu, 1998) h.61
[4]
Azyumardi Azra, jaringan global dan lokal
islam nusantara, (mizan), h.33-34
[5]
Azyumardi Azra, h.34
[6]
Agus Aris Munandar, dkk, sejarah
kebudayaan Indonesia religi dan falsafah, ( rajawali pers ), h.67
[7]
Agus Aris Munandar, h.74
[8]
Agus Aris Munandar, h.76
[9]
Musyarifah Sunanto, sejarah perdaban islam
Indonesia, (Jakarta : Rajawali pers, 2010), h. 247-248
[10]
Musyarifah Sunanto, h. 248
[11]
Musyarifah Sunanto, h. 250
[12]
Azyumardi Azra, jaringan ulama timur
tengah dan kepulauan nusantara abad XVII dan XVIII, (Bandung : mizan,
1994), h.267
[13]
Azyumardi Azra, jaringan ulama timur
tengah dan kepulauan nusantara abad XVII dan XVIII, h. 294
[14]
Azyumardi Azra, jaringan ulama timur
tengah dan kepulauan nusantara abad XVII dan XVIII, h.295
siipppp
BalasHapusthx infox...