Minggu, 07 Oktober 2012

Pandangan Tentang Proses Sosialisasi Islam yang di Perkenalkan oleh Para Sufi

oleh : M.Haiqal Arifianto

Islam masuk ke Indonesia, bukan dengan peperangan ataupun penjajahan. Islam berkembang dan tersebar ke Indonesia justru dengan cara damai berkat kegigihan para Ulama. Karena memang para Ulama berpegang teguh pada prinsip.
persepsi tersebut bisa di artikan bahwa Islam datang dengan prinsip-prinsip perdamaian, persamaan antara manusia (tidak ada kasta)
, menghilangkan perbudakan dan yang paling penting juga ialah masuk ke dalam agama Islam sangatlah mudah hanya dengan membaca dua kalimah syahadat dan tidak ada paksaan.
Proses islamisasi di Indonesia memang berbeda dari pada proses islamisasi di Negara lain. Ketika proses islamisasi di Negara lain memungkinkan untuk ekspansi militer atau seperti perluasan wilayah/ kekuasaan dan penguatan kekuatan politik islam dalam proses islamisasinya, namun di nusantara kedatangan dan penyebaran islamnya cenderung melalui jalan damai.
Sejarah mencatat semua Agama disiarkan dan dikembangkan oleh para pembawanya yang disebut utusan tuhan dan oleh para pengikutnya, mereka yakin bahwa kebenaran dari Tuhan itu harus disampaikan kepada umat manusia untuk menjadi pedoman hidup. Para penyebar Agama banyak menempuh perjalanan jarak jauh dari tempat kelahirannya  sendiri untuk menyampaikan ajarannya, atas dasar inilah para muballigh berlayar dan berdagang ke Nusantara untuk menyiarkan Islam.[1]
Tetapi tetap saja ada sedikit penggunaan kekuatan untuk menjadikan masyarakat Indonesia menjadi islam dan menurut saya sah-sah saja penggunaan kekuatan ini dilakukan karena di setiap Negara yang memang belum menganut islam sama sekali akan ada terus pertentangan-pertentangan dari Negara tersebut yang bisa di anggap bisa merusak system sebelumnya. Lalu penggunaan kekuatan ini dilakukan untuk merubah mainset para penguasa Negara tersebut.
Penyebaran islam secara damai dalam proses penyebaran islam di nusantara tetap saja menjadi cara utama. Akibat dari cara ini dapat di lihat islam di Indonesia berwatak moderat yang berbeda dari Negara lain. Dari islam Indonesia yang berwatak moderat ini para ahli mengkaitkan penyebarannya yang tidak terlepas dari peran para sufi yang memang para sufi ini berwatak sabar dalam berdakwah.
Pergulatan antara emporium dan imperium serta komunikasi yang diselenggarakan para penyebar islam, pedagang, musafir, ulama, dan kaum sufi berdampak semakin diakuinya peranan mereka dalam dalam struktur komunitas pribumi. Tumbuhnya pusat-pusat kekuasaan islam, tentu tidak lepas dari strategi dakwah yang dilaksanakan para wali dan penyebar islam di nusantara[2]
Tasawuf (mistik, sufi, olah spiritual) berperan besar dalam menentukan arah dan dinamika kehidupan masyarakat. Kehadirannya meski sering menimbulkan kontroversi, namun kenyataan menunjukkan bahwa tasawuf memiliki pengaruh tersendiri dan layak diperhitungkan dalam upaya menuntaskan problem-problem kehidupan sosial yang senantiasa berkembang mengikuti gerak dinamikanya.[3]
Menurut A.H. johns yang di kutip dalam buku Azyumardi Azra bahwa banyak sumber local yang menghubungkan pengenalan islam di daerah mereka kepada guru-guru sufi pengembara. Karakteristik mereka secara lebih terperinci seperti “ mereka adalah juru dakwah keliling yang merambah berbagai tempat di nusantara yang dengan sukarela ikut merasakan kemelarata; mereka sering dihubungkan dengan ikatan dagang atau kerajinan sesuai dengan tarekat yang mereka ikuti; mereka mengajarkan teosofi sinkretis yang sangat akrab dengan orang-orang indonesia, tetapi tetap berada di dalam lingkup dogma-dogma islam yang fundamental; mereka pandai dalam hal magis dan memiliki kekuatan-kekuatan penyembuhan serta tidak kurang secara sadar, mereka siap menjaga kontinuitas dengan masa lalu dengan menggunakan istilah-istilah dan unsur-unsur budaya pra-isalam dalam konteks islami.”[4]
Cara dakwah yang dilakukan para sufi ini nampaknya memang berpengaruh terhadap watak islam Indonesia. Teori sufi ini berhasil membuat suatu hubungan antara peristiwa politik gelombang konversi ke dalam islam.[5] Adapun dari tokoh yang mengatakan bahwa selain para pedagang yang berperan dalam proses islamisasi, para juru dakwah di anggap sangat penting. Semula juru dakwah di gambarkan sebagai satu pengaruh yang searah, namun pada masa kemudian juru dakwah tidak lagi berasal dari luar tetapi dari orang-orang Indonesia sendiri yang belajar di makkah.[6]
Kutipan kata dari buku yang di tulis oleh Agus Munandar dengan menyebut juru dakwah tersebut saya terjemahkan seperti para sufi karena karakternya tersebut mirip serupa dengannya. Pada masa akhir pertengahan sudah terjadi ketegangan antara islam ortodoks dengan sufisme, karena sejak abad ke 10 M dan selanjutnya muncul doktrin baru di kalangan tarekat yang umumya bertentangan dengan ajaranislam ortodoks dan praktik awal sufi.[7]
Dalam konteks ini tasawuf yang berkembang di Indonesia di kelompokkan dalam dua jenis, yaitu tasawuf falsafi dan tasawuf sunni.falsafi merujuk pada konsep tasawuf yang di hubungkan dengan mistisme panteistik Ibnu Arabi. Ibnu Arabi di kenal dengan ahli mistik islam yang mengajarkan kesatuan hamba da Tuhan. Adapun sunni di hubungkan dengan model Al ghazali. Kedua tradisi tasawuf itu sama-sama memiliki akar yang kuat dalam sejarah islam di nusantara. Tasawuf filsafi pernah memperoleh kejayaan di aceh pada masa sultan alauddin dan tokoh lainnya. Di pulau jawa, tasawuf falsafi di kembangkan oleh syeikh siti jenar beserta murid-muridnya. Tasawuf falsafi mengalami masa kemunduran di aceh sejak munculnya syaikh Nuruddin Ar- Raniri sebagai mufti kerajaan menggantikan As- sumatrani. Ketika itu terjadi pembunuhan terhadap penganut tasawuf falsafi dan pembakaran buku-bukunya.[8] ( dari buku agus yang mengutip buku shihab ).
Menurut Abu Said Al- kharraz tasawuf adalah orang-orang yang di jernihkan hati dan sanubarinya oleh Allahdan telah di penuhi dengan cahaya, mereka tenang bersama Allah dan akan selalu mengingat Allah. Dari pengaruh islamisasi yang di lakukan oleh para sufi yang memunculkan watak moderat, rasanya menurut saya perlu untuk mengetahui para sufi yang mengajarkan dan yang di ajarkannya.
Sufi pertama Indonesia adalah Hamzah Fansuri, karangannya tentang tarekat.ia mengungkapkan gagasan-gagasan dalam syair, bercorak wahdat al-wujud yang gampang mendorong kepada penafsiran panteistik. Dia adalah orang Indonesia asli pertama yang secara pasti menganut tarekat qadariyah. Qadariyah adalah tarekat pertama dalam sumber-sumber pribumi.[9] Lalu sufi kedua yang terkenal di Indonesia adalah Syamsuddin yaitu murid dari Hamzah. Dia adalah perumus metafisik ajaran martabat tujuh pertama di nusantara, beserta pengaturan napas pada waktu zikir.[10]
Selanjutnya dari sufi yang terkenal setelah Syamsuddin adalah Nuruddin al- Raniri. Dia merupakan tokoh terakhir yang terdokumentasi sebagai pengaruh langsung tarekat yang berkembang di Indonesia dari india. Sesudahnya, cabang tarekat dari india berkembang dulu di makkah dan madinah baru kemudian di bawa ke Indonesia, di antaranya tarekat syattariah yang di bawa oleh Abd. Rauf Sinkel. Al- Raniri memiliki banyak keahlian: sebagai sufi, teolog, faqih, ahli hadis, sejarawan, ahli perbandingan agama, dan politisi. Ia juga seorang khalifah tarekat Rifa’iyah yang menyebarkan ke wilayah melayu, di samping tarekat Aydarusiyah dan Qadariyah. Dia banyak menulis masalah kalam dan tasawuf menganut aliran Asy’ariyah dan menganut paham wahdat al-wujud yang moderat.[11]
Peranan para sufi ini pula membawa ajaran-ajaran untuk sumbangsi islam di nusantara. tema sentral pemikiran Al-Raniri, Al-Sinkli, dan Al-Maqassari, yaitu keselarasan antara aspek-aspek hukum dan mistis islam. Keselarasan ini juga menjadi tema sentral dalam tulisan-tulisan Al-Palimbani dan rekan-rekannya. Dalam seluruh tulisan mereka, kelihatan mereka sangat bersemangat mendamaikan mistisme filosofis Ibn Arabi dengan tasawuf Al-Ghazali. Pada saat yang sama, makna penting dari syariat terus menerus di tekankan.[12]
Sumbangan besar untuk penyebaran lebih lanjut doktrin-doktrin hukum islam di berikan Daawud Al-fatani, ulama paling produktif di antara para ulama melayu Indonesia lainnya dalam abad 18. Dia juga merupakan contoh baik dari seorang ulama yang berhasil dalam usahanya mendamaikan aspek hukum dan aspek mistis islam.
Menyangkut pembaruan islam di wilayah nusantara, bukan semata-mata islam berorientasi pada tasawuf, melainkan juga islam yang berorientasi pada syariat. Ini merupakan perubahan besar dalam sejarah islam nusantara, sebab pada abad-abad sebelumnya, islam mistislah yang berdominan. Setelah belajar di pusat jaringan di timur tengah, para ulama Melayu-indonesia terus melakukan usah-usaha yang di jalankan secara sadar, bahkan secara serentak, untuk menyebarkan neo-sufisme di Indonesia.
Neo-sufisme berbeda dari jenis tasawuf sebelumnya yang sebagian besarnya semacam penafsiran mistiko-filosofis terhadap islam. Mempertahankan doktrin mistisme filosofis tertentu, yang sangat penting bagi setiap jenis tasawuf, neo-sufisme memberikan tekanan lebih besar pada kesetiaan dan kepatuhan total dari para penganutnya kepada syariat. Lebih jauh lagi berbeda dengan tasawuf sebelumnya yang cenderung medorong para sufi bersikap pasif, neo-sufisme menganjurkan aktivisme. Keterlibatan dalam permasalahan duniawi dianggap sebagai salah satu langkah penting menuju pemenuhan cita-cita mistis.[13]
Bangkitnya neo-sufisme merupakn usaha jaringan ulama yang semakin Berjaya sejak menjelang akhir abad ke 16. Jaringan ulam terpusat di Haramayn timbulnya sebagai akibat interaksi berbagai tradisi pengetahuan dan keislaman dari afrika utara, mesir, syiria, irak, yaman, india dan Haramayn sendiri.[14]
Dari kegigihan dan kesabaran para sufi yang dengan dakwahnya yang dilakukan pada saat islam masuk ke nusantara, adapun beberapa manfaat yang bisa saya ambil dari dakwah yang dilakukan para sufi ini, antara lain :
  1. Berusaha menjaga persatuan dan kerukunan antaraumat beragama, saling menghormati, dan tolong menolong.
  2. Kehadiran para pedagang Islam yang telah berdakwah dan memberikan pengajaran Islam di bumi Nusantara turut memberikan nuansa baru bagi perkembangan pemahaman atas suatu kepercayaan yang sudah ada di nusantara ini. Dan Hasil karya para ulama yang berupa buku sangat berharga untuk dijadikan sumber pengetahuan



[2] Hasan Muarif, menemukan peradaban (jejak arkeologis dan historis), (Jakarta, logos wacana ilmu, 1998) h.61
[4] Azyumardi Azra, jaringan global dan lokal islam nusantara, (mizan), h.33-34
[5] Azyumardi Azra, h.34
[6] Agus Aris Munandar, dkk, sejarah kebudayaan Indonesia religi dan falsafah, ( rajawali pers ), h.67
[7] Agus Aris Munandar, h.74
[8] Agus Aris Munandar, h.76
[9] Musyarifah Sunanto, sejarah perdaban islam Indonesia, (Jakarta : Rajawali pers, 2010), h. 247-248
[10] Musyarifah Sunanto, h. 248
[11] Musyarifah Sunanto, h. 250
[12] Azyumardi Azra, jaringan ulama timur tengah dan kepulauan nusantara abad XVII dan XVIII, (Bandung : mizan, 1994), h.267
[13] Azyumardi Azra, jaringan ulama timur tengah dan kepulauan nusantara abad XVII dan XVIII, h. 294
[14] Azyumardi Azra, jaringan ulama timur tengah dan kepulauan nusantara abad XVII dan XVIII, h.295

1 komentar: