oleh : M. Haiqal Arifianto
1.
Pendahuluan
Pada
hakikatnya manusia adalah makhluk yang komunal yang akan selalu hidup bersama
pada setiap kondisinya. Kehidupan bersama tersebut merupakan tuntutan manusia
sebagai makhluk sosial yang akan sulit ketika dihadapkan dengan
kebutuhan-kebutuhan dari individu. Karena kebutuhan individu tersebut nantinya
juga memerlukan orang lain dalam pemenuhannya. Maka disitulah hakikat
kebersamaan yang harus diemban oleh setiap orang. Manusia pada dasarnya adalah
makhluk sosial, memiliki naluri untuk hidup dengan orang lain. Naluri manusia
untuk selalu hidup dengan orang lain disebut gregariusness sehingga manusia
juga disebut social animal (hewan sosial)[1].
Sebagai
makhluk sosial yang tidak mungkin hidup sendiri, maka kehidupan manusia erat
kaitannya dengan berorganisasi. Dalam setiap kebersamaan dari individu ketika
dari setiap individu tersebut memiliki tujuan yang sama maka disitulah dapat
dikatakan bahwa
mereka sudah berorganisasi. Organisasi merupakan koordinasi
sejumlah kegiatan manusia yang direncanakan untuk mencapai suatu maksud dan
tujuan bersama melalui pembagian tugas dan fungsi serta melalui serangkaian
wewenanga dan tanggung jawab[2].
Dalam
sebuah organisasi ketika berbicara eksistensi organisasi maka disitu lahada
upaya mempertahankan upaya tersebut. Setiap organisasi mempunyai budaya yang
membedakan organisasi satu dengan yang lainnya. Membentuk budaya dalam
organisasi juga merupakan upaya mempertahankan keberadaan organisasi.
Organisasi yang baik biasanya memiliki budaya sebagai bentuk aktivitas
organisasi dalam menjalankan roda tujuan berorganisasi.
2.
Pengertian Budaya Organisasi
Dalam arti sederhana organisasi
merupakan sekumpulan orang yang mempunyai visi yang sama dan didukung oleh misi
untuk dijalankan bersama yang didalamnya terdapat struktur-struktur tertentu
dan yang paling sentral adalah pemimpin. Beranjak dari pengertian yang
sederhana tersebut nantinya kita akan dapat mengklasifikasikan organisasi
formal yang oleh Mitchell dalam bukunya disebut sebagai suatu struktur
kehidupan sosial[3]
dan organisasi non-formal. Kemudian berdasarkan kamus ilmiah populer yang disusun
oleh Risa Agustin, organisasi adalah penyusunan dan pengaturan bagian-bagian
hingga menjadi suatu kesatuan , susunan dan aturan dari berbagai bagian
sehingga merupakan kesatuan yang teratur, serta gabungan kerjasama.
Harsojo mengemukakan organisasi sosial
adalah produk kodrat manusia karena setiap individu dan kelompok selalu
berusaha sekuat-kuatnya untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya, mendapat
jaminan keamanan, dan bahkan jika mungkin mencapai kemakmuran[4].
Dari beberapa pengertian diatas, terdapat beberapa kesamaan pengertian mengenai
organisasi yang dapat menjadi unsure penting dari organisasi, yaitu individu
atau kelompok, struktur , dan tujuan bersama.
Sedangkan budaya diartikan sebagai
kebiasaan-kebiasaan yang sudah menjadi rutinitas untuk dijalankan menjadi
sebuah aktivitas. Budaya tersebut berasal dari hasil pikiran yang pada akhirnya
nanti akan menjadi adat istiadat. Dalam konteks pembahasan budaya organisasi
ini mencoba mengartikan secara terpisah dan memasukkan arti budaya organisasi
secara utuh.
Menurut Schein budaya organisasi adalah
suatu pola asumsi dasar yang diciptakan, ditemukan, atau dikembangkan oleh
kelompok tertentu saat belajar menghadapi masalah adaptasi eksternal dan
integrasi internal yang telah berjalan cukup baik untuk dianggap valid dan oleh
karena itu, untuk diajarkan kepada anggota baru sebagai cara yang benar untuk
berpersepsi, berpikir, dan berperasaan sehubungan dengan masalah yang
dihadapinya[5].
Pengertian yang dikemukakan Schein
tersebut mencoba mengungkapkan bahwa itu merupakan proses pembelajaran terhadap
kejadian-kejadian atau masalah yang berasal dari luar. Dalam arti adaptasi
eksternal tersebut bahwa dari setiap permasalah diluar seseorang atau agen
organisasi harus berupaya menyesuaikan dengan permasalahan tersebut. Kemudian
ketika sudah terjadi adaptasi eksternal maka tahap selanjutnya digunakan untuk
integrasi internal. Proses inilah yang nantinya akan diajarkan kepada anggota baru
sebagai bentuk persepsi. Dia juga menunjukkan bahwa budaya melibatkan asumsi,
adaptasi, persepsi dan pembelajaran.
Budaya organisasi menjadi konsep penting
dalam sebuah organisasi, karena didalamnya budaya organisasi digunakan sebagai
persepektif untuk memahami perilaku individu dan kelompok dalam suatu
organisasi. Budaya organisasi pada awalnya dibentuk oleh individu-individu dari
organisasi. Aktivitas-aktivitas organisasi menentukan budaya organisasi. Maka
dari situlah persepsi-persepsi individu dan kelompok organisasi terlihat dari
budaya organisasi yang dihasilkan karena budaya organisasi merupakan penciptaan
dari individu.
3. Elemen Budaya Organisasi
Di dalam budaya organisasi terdapat
elemen atau unsure yang mendasari suatu organisasi. Dapat dikatakan bahwa
keberadaan atau eksistensi sebuah organisasi ditentukan oleh elemen-elemen
dalam budaya organisasi tersebut. Davis berpendapat bahwa element organisasi
meliputi guiding belief and daily belief. Guiding belief ini merupakan
keyakinan yang menjadi tuntutan untuk melakukan kegiatan melakukan organisasi
sehari-hari[6].
Elemen atau unsure budaya secara umum dapat dikategorikan menjadi dua elemen
pokok, yaitu elemen yang bersifat idealistic dan behavioral.
a.
Elemen Idealistik
Elemen
idealistic merupakan elemen yang menjadi ideology organisasi yang tidak mudah
berubah, walaupun organisasi it uterus berevolusi dan beradaptasi dengan
lingkungan. Elemen ini biasanya tidak tampak dipermukaan, hanya orang-orang
tertentu yang tahu dan menyadari tentang keberadaannya. Setiap organisasi
hampir dapat dipastikan memilikan elemen ini. Elemen idealistik banyak
dipengaruhi oleh pendiri organisasi tersebut. Ideology pendiri organisasi akan sangat
menetukan arah organisasi. Organisasi yang memiliki skala seringkali tidak
mencantumkan ideologinya. Namun seiring perkembangan organisasi, semakin
berkembang organisasi akan semakin menampakkan ideologinya dan ideology
tersebut akan tercermin dalam visi misi organisasi[7].
b.
Elemen Behavioral
Elemen
behavioral merupakan elemen kasat mata berupa sehari-hari anggota organisasi
dan bentuk-bentuk lain seperti desain dan arsitektur organisasi. Seringkali
menilai budaya organisasi dengan hanya mengamati perilaku para anggota
organisasi. Hal tersebut sering terjadi karena lebih diamati dan dinilai. Davis
menyebut elemen ini dengan daily belief yaitu praktik-praktik sehari-hari dalam
organisasi. Rousseau dan Schein menyebut bahwa elemen behavioral tampak dalam
bentuk artefak dan termasuk didalamnya perilaku sehari-hari. Artefak ini berupa
bentuk/arsitektur bangunan, logo atau jargon, cara komunikasi, cara berpakaian,
atau cara berpakaian atau cara bertindak yang bisa dipahami oleh orang luar
organisasi[8].
Diantara
kedua elemen idealistic dan behavioral
diatas terdapat keterkaitan hubungan. Sesuatu yang berada dipermukaan
adalah cermin dari apa yang ada didasar. Rouseau menggambarkan elemen budaya
organisasi seperti bawang Bombay yang berlapis-lapis. Lapisan terluar adalah
artefak. Lapisan luar adalah lapisan yang Nampak dan mudah terkelupas. Lapisan
paling dalam adalah lapisan yang sulit terkelupas atau hilang dan itu berupa
asumsi-asumsi dasar. Budaya yang tampak dari luar mudah berganti dan berubah
karena beradaptasi dengan lingkungan dan perubahan teknologi[9]. Lapisan yang dicontohkan oleh Rouseau
tersebut akan menjadi pembahasan dari tingkatan budaya organisasi.
4.
Tingkatan Budaya Organisasi
Didalam
budaya organisasi terdapat beberapa tingkatan ketika mempelajarinya. Tingkatan
itu berupa yang terlihat diluar sampai pada tingkatan yang dasar atau
tersembunyi seperti yang di perumpamaan oleh Rouseau diatas mengenai tingkatan
dalam budaya organisasi tersebut. Lundberg mengungkapkan tingkatan budaya
organisasi yang menjadi topik studinya dalam melanjutkan penelitian dari Schein
yang diungkapkan oleh Chandra dalam buku Siswanto, yaitu :
·
Artefak
Artefak merupakan aspek-aspek budaya yang terlihat. Artefak lisan, perilaku dan fisik adalah manifestasi dari budaya organisasi.
Artefak merupakan aspek-aspek budaya yang terlihat. Artefak lisan, perilaku dan fisik adalah manifestasi dari budaya organisasi.
·
Persepektif
Persepektif
adalah aturan-aturan, norma yang dapat diaplikasikan dalam kontek tertentu.
·
Nilai
Nilai
adalah dasar titik kerangka evaluasi yang dipergunakan anggota organisasi untuk
menilai organisasi.
·
Asumsi
Asumsi
adalah keyakinan yang dimiliki anggota organisasi tentang diri mereka sendiri,
tentang orang lain dan tentang hubungan mereka dengan orang serta tentang
hakikat organisasi mereka.
5.
Macam-Macam budaya organisasi
Siswanto
dalam bukunya menulis bahwa terdapat beberapa macam dalam budaya organisasi
diantaranya yaitu:
·
Budaya Peran (Apollo)
Jenis
budaya organisasi (lembaga) yang dimiliki oleh cirri-ciri birokrasi tinggi,
dikelola secara ilmiah dan memiliki disiplin tinggi. Organisasi birokratis
secara teknis merupakan alat kekuasaan yang paling maju ditangan orang yang
mengontrolnya tidaklah menentukan bobot yang sanggup dipikul birokrasi semacam
itu dalam suatu struktur sosial tertentu[10].
·
Budaya Kuasa (Zeus)
Jenis
budaya organisasi yang mempunyai cirri-ciri yaitu ada seorang tokoh
ditengah-tengah dan di pusat hubungan dengan teman-teman yang sehati sepikiran
dan mempunyai cirri-ciri lisan yang kuat dan intuitif.
·
Budaya tugas atau matrik (Athena)
Jenis
budaya organisasi dimana didalamnya orang-orang berkumpul dari latar belakang
ilmu dan keterampilan yang berbeda-beda, namun mereka berfokus pada tugas yang
sama.
·
Budaya atomistis (Bionysius)
Jenis
budaya organisasi dimana di dalam orang-orang berkumpul karena suatu minat,
visi atau keterangan yang sama[11].
6.
Dimensi-Dimensi Budaya Organisasi
Meneliti
Budaya organisasi maka didalamnya terdapat beberapa tingakatan yang membentuk
budaya tersebut. Tingkatan itu dilihat dalam bagaimana organisasi tersebut
menetukan ke arah mana organisasi itu melaju. Selain mengatur norma dan nilai
melalui komunikasi budaya organisasi mempunyai beberapa dimensi yang menjadi
ukuran sejauh mana budaya dalam organisasi itu tumbuh.
Stephen
P. Robbins mengungkapkan beberapa dimensi yang membedakan tingkatan budaya
suatu organisasi diantaranya :
§ Inisiative
Individual, yaitu tingkat kreativitas inisiatif atau ketidaktergantungan
individu dalam mengembangkan tugas-tugasnya dalam organisasi.
§ Toleransi
terhadap tindakan beresiko, yaitu sejauhmana para karyawan dianjurkan untuk
bertindak agresif, inovatif, dan berani mengambil resiko.
§ Direction,
yaitu arah yang diinginkan organisasi dengan menciptakan atau menentukan tujuan
atau sasaran secara jelas dan harapan untuk mencapai prestasi.
§ Integrasi,
yaitu tingkat kerjasama antar unit atau sejauh mana koordinasi yang dilakukan
untuk mendorong unit-unit atau bagian-bagian dalam organisasi agar bekerjasama
dalam melaksanakan tugas-tugasnya.
§ Management
support, yaitu tingkat dukungan dari manajemen dalam arti sejauh mana para
manager memberikan motivasi, mengadakan komunikasi yang jelas, bantuan serta
dukungan terhadap bawahan.
§ Control,
yaitu aturan-aturan dan pengawasan langsung yang dilakukan para pemimpin
organisasis dalam mengendalikan perilaku bawahannya.
§ Identity,
yaitu tingkat rasa bangga dari tiap individu atau sejauh mana para anggota
organisasi yang bersangkutan.
§ Reward
System, yaitu tingkatan alokasi imbalan (kompensasi) yang diberikan kepada para
anggota yang didasarkan pada criteria prestasinya.
§ Conflict
tolerance, yaitu sejauh mana tingkat dorongan terhadap pegawai untuk
mengemukakan konflik dan kritik secara terbuka.
§ Communication
patterns,yaitu pola organisasi yang ada didalam organisasi atau sejauh mana
tingkat komunikasi organisasi dibatasi oleh hierarki[12].
7.
Menciptakan Budaya Organisasi
Budaya
mempunyai peran penting untuk sebuah eksistensi organisasi. Organisasi yang
baik yaitu organisasi yang mampu menciptakan budaya yang disepakati dan dapat
disenangi oleh anggota ataupun pemimpin organisasi. Menciptakan budaya dalam
sebuah organisasi tentunya ada beberapa kondisi yang diinginkan dalam tubuh
organisasi. Kondisi itu tentu saja menjadi penyatu dari seluruh orang yang
berkomitmen dalam organisasi, diantaranya History, Oneness, Membership, dan
exchange.
Keempat
kondisi yang diinginkan tersebut masing-masing memiliki metode atau cara
pembuatannya. Kondisi seperti mengembangkan perasaan adanya sejarah (history)
maka metode yang digunakan seperti menguraikan sejarah secara mendetail, dan
komunikasi mengenai pahlawan organisasi. Kondisi kedua menciptakan perasaan
kesatuan (oneness) menggunakan metode
kepemimpinan dan pemimpin yang dicontoh guna mempererat keanggotaan dan
komunikasi nilai dan norma. Kemudian untuk mencapai metode keanggotaan maka
dibutuhkan metode seperti, sistem penghargaan, manajemen karier dan keamanan
pekerjaan, perekrutan dan penempatan kerja, sosialisasi mengenai anggota staf
yang baru, dan pelatihan dan pengembangan. Dan kondisi keempat yang diinginkan
ketika terjadinya pertukaran antar anggota (exchange), terdapat beberapa metode
yang dapat ditempuh yaitu dengan kontak anggota, pengambilan keputusan yang
partisipatif, koordinasi antar kelompok, dan adanya pertukaran personal. Budaya
yang akhirnya berkembang dalam suatu organisasi tertentu adalah suatu hasil
kompleks dari tekanan eksternal, potensi internal, respon terhadap peristiwa
kritis dan mungkin faktor kesempatan yang tidak dapat diramalkan dari
pengetahuan lingkungan atau dari anggota[13].
Menurut
Siswanto dalam bukunya bahwa budaya organisasi menyakut masalah nilai-nilai
yang dipahami dan dianut bersama dalam suatu oranisasi. Nilai-nilai itu dapat
terbentuk melalui cara sebagai berikut:

Seorang
pemimpin dengan gaya dan perilakunya biasa menciptakan nilai-nilai,
aturan-aturan kerja yang dipahami dan disepakati bersama serta mampu
mempengaruhi dan mengatur individu-individu yang ada didalamnya sehingga
nilai-nilai tersebut menjadi sebuah perilaku anutan bersama yaitu yang disebut
budaya organisasi.

Pendiri
atau pemilik organisasi tentunya mempunyai misi dan tujuan dalam mendirikan
organisasi, untuk merealisasi misi dan tujuan tersebut mereka membuat suatu
aturan-aturan yang ditujukan dengan perilaku sehari-hari saat mengelola
organisasi yang didirikan.

Budaya
organisasi juga terbentuk karena didalam organisasi terjadi interaksi atau
pergaulan antar individu yang mempunyai latar belakang budaya masyarakat yang
berbeda[14].
DAFTAR
PUSTAKA
Soekanto,
Soerjono, Sosiologi Suatu Pengantar,
(Jakarta: Rajawali Press, 2009)
Razak, Yusron, Sosiologi sebuah Pengantar: Tinjauan
Pemikiran Sosiologi Persepektif Islam, (Jakarta: Laboratorium Sosiologi
Agama, 2008)
Mitchell,
Duncan, Sosiologi Suatu Analisa Sistem
Sosial (Jakarta : Bina Aksara, 1984)
Zulkifli,
Antropologi Sosial Budaya (Yogyakarta
: Shiddiq Press Bangka)
Ivancevich,
John, dkk, Perilaku dan manajemen
organisasi (Jakarta : Erlangga, 2006)
Siswanto dan Sucipto, Agus, Teori & Perilaku Organisasi Suatu
Tinjauan Integratif (Malang : UIN Malang Press, 2008)
Weber,
Max yang diterjemahkan oleh Noorkholis, Sosiologi
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009)
[1]
Soekanto, Soerjono, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta: Rajawali Press, 2009)
hal 101
[2]
Razak, Yusron, Sosiologi sebuah
Pengantar: Tinjauan Pemikiran Sosiologi Persepektif Islam, (Jakarta:
Laboratorium Sosiologi Agama, 2008), hal 119
[3]
Mitchell, Duncan, Sosiologi Suatu Analisa
Sistem Sosial (Jakarta : Bina Aksara, 1984) hal 180
[4]
Zulkifli, Antropologi Sosial Budaya
(Yogyakarta : Shiddiq Press Bangka) hal 117
[5]
Ivancevich, John, dkk, Perilaku dan
manajemen organisasi (Jakarta : Erlangga, 2006) hal 44
[6]
Siswanto dan Sucipto, Agus, Teori &
Perilaku Organisasi Suatu Tinjauan Integratif (Malang : UIN Malang Press,
2008) hal 144
[7]
Ibid, hal 143
[8]
Ibid, hal 145
[9]
Ibid, 146
[10]
Weber, Max yang diterjemahkan oleh Noorkholis, Sosiologi (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2009) hal 277
[11]
Siswanto dan Sucipto, Agus, Teori &
Perilaku Organisasi Suatu Tinjauan Integratif, hal 147
[12]
Ibid, 152
[13]
Ivancevich, John, dkk, Perilaku dan
manajemen organisasi, hal 49
[14]
Siswanto dan Sucipto, Agus, Teori &
Perilaku Organisasi Suatu Tinjauan Integratif., hal 149
Tidak ada komentar:
Posting Komentar